Friday, November 8, 2013

fufufufufu~


Aku memujanya. 
Kenalkan, namanya adalah persahabatan.
Aku menjaganya. Kenalkan, namanya kesetiakawanan.
Aku menghiasi mereka dengan... 
Em, mungkin kunamai mereka pengertian, kepercayaan dan kesabaran. 

Lalu, suatu hari persahabatan yang kupuja itu melupakanku.
Pergi meninggalkanku dengan senyuman. 
Dia baik-baik saja, aku tidak.
Dia merusak kesetiakawanan yang kujaga dengan alasan “setiap hal pasti berubah, termasuk kita”.  
Mungkin dia lupa, aku juga berubah tapi aku tetap menjaganya.
Aku tak berhenti. Mungkin lebih tepatnya belum... 
Aku masih memuja persahabatan itu sampai beberapa kali, sampai akhirnya aku meragukannya.
Dia ada atau aku yang mengada-adakannya? 

Keraguanku terjawab, dia yang kusebut sahabat itu sendiri yang menyatakan “persahabatan yang kupuja itu cuma ilusi semata”
Hahaha, aku menertawainya. 
Dia salah, pikirku. Aku tetap memperlakukannya sebagai sahabat. Persahabatanku dengannya tetap kujaga dengan kesetiakawanan, ku hiasi dengan pengertian, kepercayaan dan kesabaran.
Yang terkadang sangat “berlebihan”. Itu sakit rasanya. Hahaha. Ya, sakit.
Sia-sia? Mungkin tidak, setidaknya aku belajar-ber’pengalaman’. 

Aku beroleh pengertian dari manusia lain. 
Persahabatan itu ada, tidak ada, belum ada, dan lainnya. 
Aku mendengarnya tapi aku belum memahami semuanya.
Aku menjalani persahabatan lain dan berakhir dengan hal yang sama, lagi.

Ah, semua sama saja. Itu pikirku.
Lalu kembali aku teringat dengan persahabatan itu hanya ilusi.
Sampai akhirnya aku mengIYAkannya. Benar juga. Akhirnya aku menutup diri. Menutup diri untuk terlalu “dekat”.  Sampai-sampai.. 
Ah, kata-kata sahabat memuakkanku. 

Lalu suatu hari aku mendapati ‘dia yang berkata sahabat itu ilusi’ justru dia kini mempercayainya. Aku tertawa. Tertawa pahit. Hidup ini lucu.
Semesta, kau sedang dan senang mencandaiku? 

Bagian tersakit adalah 
“Ketika kau berusaha membohongi diri sendiri akan rasa sakit yang kau alami, tapi keadaan justru membuatmu sadar itu bukan perasaanmu belaka, melainkan memang itu kenyataannya” 

Maksudku adalah dia yang kuanggap sahabat itu tidak menemukan arti  atau makna persahabatan dari kehadiranku dihidupnya. Dulu kupikir mungkin aku yang terlalu berprasangka, tapi memang itu nyatanya. Dia merasakannya dengan orang lain yang kemudian menyadari keberadaan yang kalian namai persahabatan itu. 
Aku? 
Aku masih atau tetap memegang teguh pengertian “sahabat itu hanya ilusi”. Padahal bukan aku yang me'nama'inya seperti itu.
Tapi aku (masih) setia menggenggam kalimat itu.
Sampai kapan? Em..... entah.

No comments: